Webinar FaSya IAIN Salatiga: Kontroversi Disahkannya RUU Omnibus law Menjadi UU Khususnya Dibidang Cipta Kerja Bisa Diselesaikan Dengan Pendekatan Maqoshid Syari’ah

FaSya IAIN Salatiga- Fatwa fatwa kebangsaan sudah banyak lahir mulai dari pra-kemerdekaan, masa kemerdekaan dan pasca kemerdekaan. Fatwa tersebut dalam dimensi  maqoshidu syari’ah perlu kajian yang bersifat komprehensif. Mengingat keberadaan maqoshidus syari’ah sendiri menjadi penting peranannya dalam konteks berbangsa, bernegara dan beragama. Maka dalam hal ini kita tidak boleh mengganggap remeh atau sebelah mata terkait dengan maqoshidu syari’ah itu sendiri. Merespon pentingnya tema tersebut untuk diangkat guna menambah pemahaman para mahasiswa Syari’ah IAIN Salatiga dalam menyongsong dan merespon perkembangan beragama dan bernegara dimasa depan. FaSya IAIN Salatiga gelar webinar pada Selasa, 13 Oktober 2020 di AUla Kampus 2 IAIN Salatiga, dengan mehadirkan melalui sambungan ZOOM narasumber Prof. Dr. M.Noor Harisudin.M.Fil. selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Jember dan menjadi Sekretaris Forum Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri se-Indonesia.

 

Dr. Siti Zumrotun, M.Ag. selaku dekan FaSya IAIN Salatiga dalam sambutannya menekankan kepada peserta khususnya para mahasiswa agar dapat memahami penyampaian dalam webinar ini untuk mendapatkan pemahaman apa itu fatwa, fiqih dan qodho atau apa syari’ah dan maqoshidus syari’ah. Karena mahasiswa FaSya Syaria’ah harus lebih paham tentang makna istilah-istilah tersebut.

Harisudin sebagai narasumber menyampaikan “pandangan tentang fatwa, fiqih dan qodho yang banyak pihak salah mencermati dan memaknainya oleh karenanya pentingan kajian-kajian tentang maqoshidus syari’ah dikalangan peneliti atau pendidik dan juga para pihak yang berkompeten dalam pemerintahan”.

Selanjutnya dalam fatwa-fatwa kebangsaan ini, urusan apapun sudah diatur oleh fatwa dan fikih. Keduanya ‘fatwa dan fikih’ turut serta dalam membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk tetap tegak berdiri, tumbuh berkembang hingga sekarang. “Bisa kita lihat bersama saat ini banyak fatwa-fatwa yang mengatur berbagai hukum dimasa pandemi Covid-19, misalnya bagaimana hukum menggunakan masker saat keluar rumah, hukum sholat Jum’at di masjid, dan sebagainya. Disinilah peran fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam pandangan Maqashid Asy-Syariah sangat diperlukan”.

Baca juga  Dibuka Pendaftaran Mahasiswa Baru Jalur Undangan Fakultas Syariah IAIN Salatiga Tahun Akademik 2021/2022

Fatwa merupakan jawaban atau penjelasan dari ulama mengenai masalah keagamaan dan telah berlaku untuk umum, dan dalam kondisi apapun. Fatwa juga biasanya muncul karena adanya respon mengenai fenomena yang terjadi di masyarakat. Fatwa ada karena permintaan atau pertanyaan dari masyarakat, pemerintah, organisasi sosial atau Majelis Ulama Islam sendiri, dan perkembangan atau temuan masalah-masalah keagamaan yang muncul akibat perubahan masyarakat berupa kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.

Perbedaan antara fatwa dan fikih diantaranya fatwa tentang sebuah kasus, sifatnya lebih khusus, sedangkan fikih sifatnya umum. Fatwa ada karena permintaan, sedangkan fikih tidak harus selalu ada permintaan. Fatwa dan fikih sama-sama membahas tentang permasalahan pada manusia, sedangkan perbedaan fatwa dan qadla yaitu fatwa sifatnya tidak mengikat sedangkan qadla mengikat, fatwa sifatnya dari masyarakat, sedangkan qadla dari perwakilan negara. “Diatasnya qadla ada positif law. Positif law adalah hukum Islam yang menjadi hukum positif, seperti Kompilasi Hukum Islam, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (HEI), dan lain sebagainya.

Terdapat empat hal pokok dalam fatwa, diantaranya al-ifta’ artinya kegiatan yang menerangkan hukum syara’ sebagai jawaban dari pertanyaan, Mustafti adalah orang yang meminta fatwa baik individu ataupun berkelompok, Mufti adalah orang yang memberikan fatwa, dan Mustafti Fiih merupakan peristiwa yang ditanyakan status hukumnya. Oleh sebab itu maka, syarat-syarat menjadi Mufti tidak boleh sembarangan, yang pertama seorang Mufti itu harus mukalaf (muslim, dewasa, dan sempurna akalnya), harus ahli dalam ilmu agama dan bisa berijtihad, pribadinya harus adil, dapat dipercaya dan mempunyai moralitas, serta memiliki keteguhan niat, tenang jiwanya, hasil fatwanya tidak menimbulkan kontroversi (perdebatan) dan dikenal di tengah umat.

Baca juga  Tanggap Pandemi Covid-19, Alumni beserta Mahasiswa HTN bagikan masker secara gratis

Tujuan dari syariah Islam adalah untuk mencapai kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun akhirat. Semua syariat Islam itu ada manfaatnya, dan manfaat itu akan kembali kepada manusia itu sendiri. “Jika Allah mewajibkan kita untuk sholat, puasa, zakat, dan sebagainya, tentu ini akan menjadikan kemaslahatan bagi manusia, Allah Swt memerintahkan kita untuk melakukan suatu kebaikan dan tidak pernah ada yang sia-sia, baik yang wajib hukumnya, sunnah atau mubah, semua pasti ada kemaslahatan untuk umatnya. Sedangkan yang mengandung sisi negatif itu ada makruh dan haram. Setiap hal yang dimakruhkan, pasti ada potensi membahayakan bagi manusia. karena tujuan syariah sejatinya adalah memelihara jiwa, akal, keturunan, harta, dan agama.

Umumnya pembagian pemikiran maqashid Asy-Syari’ah ada 3 (tiga), yaitu Nushusiyun (berdasarkan nash-nash quran), Maqasyidun (tidak harus berdasar nash, asal maqashid syariahnya bagus), dan Nushusiyun Maqasyidun (nash-nash juga dipakai tetapi juga berdasar pada maqashid syariah). Analisa tingkatan Maqashid Asy-Syariah pada masa lampau, masa orla dan orba, serta masa reformasi, tujuannya adalah selalu kontekstual dengan zamannya. Masa lampau tujuannya secara umum al-Dlaruriyatul Khams, secara khusus yaitu membebaskan rakyat dari penjajah Belanda. Di masa orla dan orba tujuannya untuk mempersatukan umat, menjauhkan umat dari kebodohan dan kekafiran. Sedangkan di masa reformasi tujuannya untuk memajukan kesejahteraan di Indonesia.

Baca juga  Dorong Awareness Mahasiswa dalam Isu Hukum dan HAM, Dosen Fakultas Syariah IAIN Salatiga Luncurkan Buku Baru

“Fatwa-fatwa kebangsaan ini adalah tema yang menarik, dan perlu untuk dikembangkan. Fatwa-fatwa yang posisinya untuk menguatkan bukan melemahkan NKRI dan Pancasila”, ujar Prof. Harisudin.

Berkaitan dengan omnibus law yang kemudian dikaitkan dengan dimensi/perspektif Maqoshidus syariah beliau menyampaikan ada kesinambungan untuk dikaji secara khusus dan bisa berdampak secara umum atau luas untuk kemaslahatan ummat atau masyarakat secara umum.

Bila kita tarik secara seksama terkait dengan kajian Maqoshidus syariah, Prof. Haris mengklasifikasikan menjadi 5 hal yang tergolong dalam Maqoshidus Syariah dengan nilai kemaslahatan secara luas di dalamnya , ada yang disebut dengan hifdzu  dien (menjaga agama), hifdzu nafs (menjaga jiwa ) kemudian hifdzu nasab (menjaga nasab) dan terakhir hifdzu maal (menjaga harta) maka terkait dengan permasalahan kontroversial disahkannya RUU Omnibus law menjadi UU yang terbagi menjadi 11 klaster di dalamnya khususnya dibidang cipta kerja bisa di selesaikan dengan pendekatan maqoshidu syariah, mengingat impact atau dampak dari disahkannya RUU Omnibus Law tersebut yang bisa menyelisihi dari kemaslahatan banyak orang seperti kesejahteraan, keyamanan, keadilan, kepastian dan permaslahan sosial lainnya yang itu sangat mmungkin muncul suatu produk daripada pemikiran maqoshidus syari’ah itu sendiri.

Dengan demikian kajian atau dimensi Maqoshidus Syari’ah bisa menjadi terobosan yang perlu dikembangkan secara luas kedepan untuk menjawab tantangan persoalan kebangsaan dan keagamaan dengan nilai-nilai luhur di era pluralistik (kemajemukan) didalamnya.