Bahas Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Negara Muslim, FaSya IAIN Salatiga Gelar Seminar Internasional

Salatiga– Fakultas Syari’ah (FaSya) IAIN Salatiga berkolaborasi dengan UIn KH Ahmad Siddiq Jember dan UIN Ar-Raniry Aceh menggelar seminar internasional guna memperoleh pemahaman secara komprehensif mengenai sengketa ekonomi syari’ah. Acara ini dikemas dalam tajuk bertemakan “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Negara Muslim”.

Seminar Internasional yang digelar pada kamis (23/12) di Aula FaSya IAIN Salatiga secara daring melalui aplikasi Zoom dan live streaming Youtube dihadiri 367 secara on-line dan sebanyak 63 hadir di Aula. Hadir sebagai pembicara pembuka Dr. Hj. Siti Zumrotun, M.Ag. selaku Dekan FaSya IAIN Salatiga, prof. Muhammad Siddiq Arnia, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry Aceh dan prof. Dr. M. Noor Harisudin, M.Fill selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN KH. Ahmad Siddiq Jember. Kemudian Hadir sebagai pemateri Dr. Imron Rosyadi, S.H., M.H. selaku Ketua Pengadialan Agama Ambon, Dr. Akli, M.A. selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UniSHAMS Malaysia dan Prof. Dr. Abdurrahman Raden Aji Haqqi. Lc., MCL. selaku guru besar UNISSA Brunei Darussalam.

Noor Harisudin,membuka sambutan “tema seminar ini sangat penting untuk penyelesaian sengketa syari’ah yang sekarang sudah menjadi bagian kehidupan masyarakat muslim terutama dinegara-negara muslim. Kita berharap seminar ini memberikan kontrubusi yang banyak terutama pada solusi-solusi persengketaan syari’ah diberbagai negara muslim”.
Siti Zumrotun dalam sambutannya “seminar ini dilatarbelakangi oleh adanya penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di negara-negara muslim tidak dapat dipisahkan dengan sistem hukum dan peradilan yang dipraktekan di negara tersebut. Sebagaimana di Indonesia kekuasaan Peradilan Agama yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 1989 cakupan kewenangan absolut belum memasukkan tentang ekonomi syari’ah. Kemudian dalam UU No. 3 Tahun 2006 lebih luas lagi memasukkan unsur ekonomi syari’ah sebagai salah satu kewenangan absolutnya. Peradilan Agama sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bertugas menyelenggarakan keadilan bagi masyarakat. Berdasarkan pasal 1851, 1855 dan 1858 KUHP dijelaskan pada pasal 3 UU No. 14 Tahun 1970 dan UU No. 30 Tahun 1999 tentang alternatif penyelesaian sengketa. Maka terbuka kemungkinan para pihak penyelenggara sengketa menggunakan pihak selain peradilan. Alhamdulillah FaSya IAIN salatiga bekerjasama dengan Asosiasi Pengacara Syari’ah Indonesia (APSI) sudah melaksanakan pelatihan mediator bersertifikat. Pada saat ini Fasya sudah memiliki beberapa mediator Non Hakim bersertifikat yang sudah memberi mediasi pada beberapa persengketaan di masyarakat”.

Baca juga  Dinamika Hukum Islam di Indonesia, Kuliah Tamu Fakultas Syari'ah

Pada acara inti, Imron Rosyadi mengawali penyampaian materi seminar dengan tema “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah menurut Sistem Hukum Indonesia”.

“UU No. 21 tahun 2008 pada pasal 55 mengatur tentang penyelesaian sengketa perbankan syari’ah yang dilaksanakan oleh pengadilan agama, namun dalam penjelesan pasal tersebut masih membuka peluang penyelesaian di peradilan umum disamping penyelesaian non litigasi. Namun dengan putusan Mahkamah Konstitusi No.93 tahun 2012 maka mutlak bahwa kewenangan penyelesaian perkara syari’ah secara litigasi diserahkan kepada peradilan agama. Kemudian didalam Peraturan OJK No. 61 Tahun 2020 juga diatur tentang penyelesaian sengketa non litegasi terhadap penyelenggara jasa keuangan, dalam hal ini adalah perbankan dan sebagainya. Ini mengatur tentang penyelesaian sengketa non litigasi antara lembaga jasa keuangan dengan nasabah. Berbagai regulasi ini dibuat untuk memberikan ruangan bagi masyarakat dalam menyelesaikan sengketa di luar pengadilan”.

Baca juga  SEMINAR NASIONAL "TANTANGAN NKRI DI TENGAH PENETRASI IDEOLOGI TRANSNASIONAL"

Lanjut melalui daring pula, Abdurrahman Haqqi memaparkan materinya dengan tema “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah menurut Sistem Hukum Brunei Darussalam”.

“Sistem pengadilan paralel, tetapi terpisah, yang ada sekarang di Brunei adalah hasil dari dua pengaruh impor yang berbeda. Warisan Inggris diwujudkan dalam sistem Pengadilan Sipil sementara warisan Islam terlihat dalam sistem yang baru direformasi yaitu Pengadilan Syariah. Sementara yang pertama dipertahankan pascakemerdekaan untuk menjadi institusi dominan dalam sistem hukum Kesultanan, reformasi baru-baru ini terhadap pengadilan Islam dan hukum Islam telah mengisyaratkan komitmen Sultan untuk meningkatkan peran dan signifikansi mereka bagi penduduk Brunei yang didominasi Melayu, Muslim. Hal ini sesuai dengan ideologi bangsa, Melayu Islam Beraja (MIB), yang dirancang untuk mempromosikan dan menegakkan budaya Melayu, Islam dan institusi monarki sebagai komponen yang sangat diperlukan dalam pembangunan Brunei. Tak pelak, MIB juga berdampak pada prioritas penyelesaian sengketa saat ini, termasuk proses-proses selain ajudikasi yang digunakan di pengadilan, baik hukum umum sekuler atau sistem pengadilan Syariah agama”.

Baca juga  Gandeng Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia, Fakultas Syariah Miliki 9 Mediator Bersertifikat

“Masyarakat Brunei umumnya lebih suka menyelesaikan perselisihan di luar pengadilan melalui mediasi tidak resmi dan tindakan informal lainnya, seperti yang dilakukan oleh banyak masyarakat Asia lainnya. Menurut laporan Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC): “Pihak-pihak dari kawasan Asia umumnya menolak untuk merujuk sengketa ke pengadilan. Ada preferensi budaya tradisional yang kuat di sini untuk menyelesaikan perselisihan melalui diskusi dan kompromi”, lanjutnya.

acara ditutup dengan tanya jawab yang seru antara peserta yang hadir dengan para pemateri.