Minimnya Pemahaman Khilafah Dikalangan Genarasi Muda dan Masyarakat, Fakultas Syariah IAIN Salatiga Gelar Seminar Nasional Bertemakan “Sistem Khilafah Dalam Perjalanan Politik Islam”

SALATIGA- Minimnya pemahaman tentang  khilafah politik karena kurangnya pemahaman agama.Oleh karena itu, generasi muda dalam hal ini mahasiswa dan masyarakat agar senantiasa membuka diri terhadap wawasan dengan memperbanyak diskusi terbuka serta menimba ilmu agama dengan benar.

Menanggapi itu, dalam rangka berupaya untuk menghindari Pemahaman yang keliru tentang Sistem Khilafah, Fakultas Syariah IAIN Salatiga menggelar Seminar Nasional dengan dengan mengangkat tema “Sistem Khilafah dalam Perjalanan Politik Islam”.

Hadir dalam seminar yang diselenggarakan secara daring dengan aplikasi Zoom Meeting, Kamis (08/10/2020) kemarin yakni para Dekan Fakultas Syariah se indonesia, para Dosen, dan pemerhati Politik, mahasiswa,Dosen Monash Unuversity Malaysia serta masyarakat umum.

Pada kesempatan tersebut, Dr.Hj.Siti Zumrotun,M.Ag dalam sambutanya menyampaikan, Fakultas syariah mempunyai Program Studi yang fokus pada Tema ini yaitu Hukum Tata Negara (HTN) oleh karenanya ia berharap khususnya mahasiswa HTN bisa mengambil poin-poin penting dari materi dalam Tema ini.

“Bahwa di indonesia ada HTI yang berupaya untuk merubah sistem pemerintahan menjadi khilafah, yang menyandarkan secara historis pada khulafaurrosidin dimana menggunakan sistem monarki. Untuk itu besar harapan dengan diselenggarakan seminar ini dapat bermanfaat dan semoga menambah pengetahuan sejauhmana sistem khilafah yang sebenarnya sebagaimana sistem yang di contohkan oleh Rosulullah SAW,”tutur Zumrotun.

Baca juga  Tantangan di Era 4.0, Mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Salatiga Harus Memiliki Jiwa Enterpreneur dan Responsibility Terhadap Informasi Digital

Sementara itu Prof. Nadirsyah Hosen selaku Narasumber pertama menjelaskan, ada dua jargon utama yang dikembangkan para penganut “khilafah”. Pertama, Khilafah dianggap sebagai solusi ummat. Hal ini merupakan sesuatu yang Ahistoris. 

“Jargon ini dimunculkan hanya sekedar untuk mengkritik problem yang terjadi di sekitar kita. Sementara dalam faktanya praktik khilafah dizaman dahulu banyak sekali praktik yang bermasalah.”

“Mereka tidak mau menggunakan kaidah ushul “jalbul masholih” dar’ul mafaasid” dan kaidah “tagoyyarul ahkam bi tagoyyuril azminah wal amkinah,”jelas Prof. Nadirsyah Hosen.

Disampaikannya, salah satu praktik yang bermasalah adalah ketiadaan praktik penurunan penguasa dalam sistem kepemimpinan yang berakibat pada tindakan kejahatan terhadap pemimpin dengan melukai fisik pemimpin agar tidak terpenuhi syarat menjadi pemimpin secara fisik. Yaitu cacat panca indra. Selain itu banyak sekali khalifah yang berkuasa saat masih berusia terlalu muda dengan usia belasan tahun.

“Banyak para pengusung khilafah yang yang double standart, misalkan mereka menolak praktik buruk yang terjadi pada masa abbasyiah dan umayyah,”terangnya.

Mereka menyatakan, lanjut Prof. Nadirsyah Hosen, bahwa itu bukan khilafah tapi kerajaan, tetapi mereka menjadikan standart pada praktik baik yang terjadi masa khilafah, atau ketika mereka menemui keburukan yang terjadi pada masa khilafah, maka mereka akan mengklaim bahwa pelakunya adalah oknum bukan sistemnya yang bermasalah.”

Baca juga  MAHASISWA BARU FAKULTAS SYARI'AH TAHUN 2017/2018

“Namun ketika terjadi kekurangan pada praktik berdemokrasi mereka akan mengatakan bahwa yang bermasalah adalah sistem demokrasinya, bukan oknum yang ada dalam sistem demokrasi,”ucapnya dengan gamblang.BERITA PILIHAN

Ditambahkan Prof. Nadirsyah Hosen, Jargon yang kedua adalah Khilafah sebagai inti ajaran islam. Menurut beliau (Ibnu Taimiyah – red) khilafah bukanlah inti dari ajaran islam karena khilafah itu sekarang sudah tidak ada, sementara inti ajaran islam itu memiliki sifat “sholihun li kulli zaman wa makan” sehingga khilafah tidak masuk dalam kategori tersebut karena sekarang sudah tidak ada. 

“Inti ajaran islam adalah rukun islam yang sampai kapanpun kegiatan tersebut akan ada dan dilaksanakan oleh umat islam,”tambahnya.

Untuk itu, masih kata Prof. Nadirsyah Hosen, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa siapapun yang mengatakan bahwa khilafah merupakan sesuatu permasalahan yang penting didalam islam, maka orang tersebut telah berdusta menurut ijma’ ulama’.

“Al Mawardi berpendapat bahwa kewajiban yang ada dalam islam adalah mengangkat pemimpin bukan mengangkat khilafah dan hukum mengangkat khilafah itu fardhu kifayah,”punkasnya.

Baca juga  Bergerak Menuju Fakultas yang Kompetitif Kancah Nasional dan Internasional, Fakultas Syari'ah Resmikan Sharia International Center

Masih materi soal khilafah, Narasumber kedua  Dr. Sahiron M.A yang juga sebagai Wkil Rektor II UIN Walisongo menjelaskan, bahwa Islam (Al-Qur’an dan Hadist Nabi) mengajarkan kepemimpinan, akan tetapi kepemimpinan ini tidak satu bentuk dengan yang dimaksud “Khilafah”.

“Pendirian Khilafah HTI ,dalam Pengadilan di PTUN, didasarkan pada kisah nabi adam dalam surat al-baqoroh tentang penciptaan nabi adam dalam mengurus bumi dan ini keliru karena ini tidak ada kaitan sama sekali dengan pengangkatan khalifah dalam sistem Khilafah,”jelasnya.

Diterangkan Prof. Nadirsyah Hosen, Dalam al-qur’an terdapat 9 kata yang berakar pada kata “khalifah”, tapi kesembilan kata tersebut secara konteks tidak ada yang berkaitan dengan pembentukan sistem khilafah sebagaimana yang dijadikan landasan oleh HTI dalam pendirian khilafah.

“Beliau menyatakan bahwa islam berbicara mengenai kepemimpinan, tapi dalam al-quran dan hadist tidak satupun yang berbicara mengenai khalifah sebagai sistem pemerintahan. Al-qur’an dan Hadist pada dasarnya hanya memberikan prinsip-prinsip dan etika dalam kepemimpinan tapi tidak mengharuskan kepemimpinan dengan pilihan sistem tertentu,”jelasnya dengan gamblang.(*)

Diterbitkan : Harian7 (https://www.harian7.com/2020/10/minimnya-pemahaman-khilafah-dikalangan.html)